SECUIL KENANGAN
“Apalah aku ini, seseorang yang pernah gagal,”batinku kala itu yang
minder karena pernah gagal dalam menjalani pernikahan. Bagiku, gagal dalam menjalani pernikahan seperti dunia berkabut.
Hitam pekat tanpa sinar. Apalgi gagal setelah memiliki anak. Berbagai pikiran
berkecamuk karena putri kecilku akan kehilangan sosok ayah. Tidak bisa lengkap
seperti anak-anak yang lain.
Waktu pun terus berjalan. Sampai tidak terasa putri kecilku sudah
berumur 6 tahun dan aku baru berani untuk menerima pinangan laki-laki baik yang
mau menerima aku apa adanya. Kalau ditanya, apakah aku masih trauma? Jujur, aku
masih trauma dan aku takut apakah nanti ia akan menerima anakku layakny anak
dia sendiri? Meski ia sangat baik dan mau menerima masa laluku.
Aku pun benar-benar mempertimbangkan keputasan ini dengan sepenuh
hati. Tak lepas sholat istiharoh mengharap petunjuk terbaik dari Allah. Akhirnya
dengan kemantapan hati ku putuskan untuk menerima pinangannya dan menjalin
kehidupan baru dengannya. Aku tidak ingin menjalani pernikahan ini dengan
setengah hati. Karena sesuatu yang kita jalani setengah hati akan menuai
kegagalan. Hal itu dulu yang aku alami saat pernikahan pertamaku.
Dulu, aku memilihnya dengan setengah hati, karena aku tidak ingin
ditolak Ibu lagi saat aku mengajukan calon. Karena Ibu berharap aku bisa
menikah dengan laki-laki yang tidak jauh dari rumah. Dalam artian bisa dijangkau,
tidak jauh-jauh dari Kabupaten tempat kami tinggal.
Akhirnya, ketika ada cowok yang meminang, rumahnya dekat rumah dan
Ibu setuju, aku pun tidak menolak. Meski aku ragu saat menjelang hari H
pernikahan. Panjang cerita sampai akhirnya dia pergi saat aku hamil 6 bulan. Ia
pun tidak kembali saat aku melahirkan. Lalu, Ia datang untuk mengajukan pisah.
Kami pun resmi berpisah saat putri kecil ku ber umur 3 bulan. Meski ia sudah
pergi sejak aku hamil 6 bulan.
Hari-hari dengan status single parent harus aku jalani selama 6
tahun. Sedih, baper dan air mata berderai saat melihat putri
kecilku.Alhamdulillah, ASI ku akala itu lancar meski rasa sedih menggantung di
langit-langit hatiku.
“Bun, adik bangun, minta mimik.” Panggil Tiara yang sontak membuatku
kaget. Ah, tempe ku gosong karena ku melamun sesaat teringat masa lalu.
Aku pun mematikan kompor, ambil wudhu baru memberikan ASI pada putra
ku yang baru berumur 2 bulan.
“Alhamdulillah, atas nikmat suami yang baik sekarang dan anak-anak
yang luar biasa, Engaku telah mengganti sedihku dahulu dengan kebahagiaan
sekarang. Janji MU adalah benar, akan ada kemudahan setelah kesulitan.”Gumamku
sembari memberi Asi.
(389 kata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar